Dorong Anak Sampai Keluar Mobil, Ini Dampak Traumanya

Ditinjau oleh  Redaksi Halodoc   29 Maret 2019
Dorong Anak Sampai Keluar Mobil, Ini Dampak TraumanyaDorong Anak Sampai Keluar Mobil, Ini Dampak Traumanya

Halodoc, Jakarta – Selasa (26/3) lalu viral pemberitaan seorang ibu yang mendorong anaknya keluar dari mobil. Peristiwa ini terjadi di Jalan Bandung, Kota Malang pada sore hari. Aksi dorong-dorongan tersebut terlihat sangat serius. Sampai-sampai membuat jilbab sang anak tersingkap dan hampir jatuh dari mobil.

Sang ibu sempat membuat klarifikasi dan permintaan maaf serta menjelaskan apa yang membuatnya mendorong sang anak. Ternyata, menurut pengakuannya, dorong-mendorong tersebut terjadi karena si anak tidak mau les karena tidak dibawakan baju ganti. Tidak bisa menahan emosi, sang ibu mendorong anak keluar dari mobil.

Menurut National Institute of Mental Health, peristiwa traumatis yang terjadi pada anak bisa merusak rasa aman dan membuat anak merasa tidak berdaya dan rentan, terutama bila dilakukan oleh orang terdekat, termasuk orangtua.

Baca juga: Bagaimana Mendampingi Anak yang Mengalami Trauma atau Depresi

Sejatinya trauma adalah respons emosional terhadap peristiwa yang intens itu yang mengancam atau menyebabkan kerusakan. Kerugiannya bisa fisik atau emosional, nyata atau dirasakan, dan bisa mengancam anak. Trauma bisa menjadi hasilnya dari satu peristiwa atau itu bisa hasil dari paparan banyak peristiwa dari waktu ke waktu.

Ada beberapa dampak trauma yang bisa dirasakan anak, ketika mengalami pengalaman tidak mengenakkan saat proses tumbuh kembangnya, seperti:

  1. Menyalahkan Diri Sendiri

Anak bisa membawa perasaan menyalahkan diri sendiri hingga ke tahap tumbuh kembangnya.  Pola pikir dan harapan anak adalah mendambakan orangtua yang mencintai dan merawat dengan kesungguhan hati. Ketika orangtua tidak melakukannya, anak mulai menyalahkan diri sendiri. Mengubur emosi dan keinginan untuk menjadi sosok yang disayangi, bahkan bisa sampai melakukan apa saja demi mendapatkan perasaan dihargai tersebut.

  1. Selalu Berpikir sebagai Korban

Apa yang seorang anak pikirkan mengenai dirinya akan membentuk karakternya. Perkataan maupun pikiran yang negatif dapat membuat anak merasa sedih dan selalu menempatkan diri sebagai pihak yang dikasihani. Kalau seorang anak terus-menerus memiliki pola pikir demikian pada akhirnya akan menciptakan lingkungan yang negatif juga. Termasuk perasaan tidak menghargai dan menganggap diri tidak layak mendapatkan sesuatu yang lebih.

Baca juga: Anak Terus-terusan Main Gadget, Tanda Pola Asuh Salah?

  1. Pasif Agresif

Ketika anak-anak tumbuh dalam rumah tangga di mana hanya ada ekspresi kemarahan yang tidak sehat, mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa kemarahan tidak dapat diterima. Tidak bisa mengungkapkan kemarahan secara benar malah mengakibatkan anak menjadi tertekan dan ketika akhirnya rasa tertekan tersebut sudah terlalu penuh, bisa meledak, dan menyebabkan kemarahan yang tidak wajar.

  1. Menjadi Pribadi yang Tertutup

Jika seorang anak merasa terabaikan, beranjak dewasa akan lebih sering memilih untuk mengubur emosi, kemarahan, dan ketakutannya. Pada akhirnya, ketika dewasa dia cenderung memilih untuk menyendiri, menutup diri atas segala kemungkinan dan pasif menerima keadaan. Perasaan-perasaan ini juga ditambah dengan rasa tidak percaya diri dan menolak untuk maju dan meraih mimpinya.

Baca juga: Dampak Psikologi pada Anak Angkat Seperti di Film Instant Family

Marah Tanpa Amarah

Semua orang pasti pernah merasa marah, dan kemarahan itu normal. Tapi, jika kamu sebagai orangtua, mendapati diri menjadi sangat marah dan memiliki kesulitan mengendalikan diri ketika sedang marah ke anak.

Terkadang kemarahan atau frustrasi anak dapat membuat orangtua merasa marah. Misalnya, jika anak marah dan berbicara dengan kasar ke atau tidak akan melakukan apa yang orangtua minta. Seringkali orangtua menjadi terpancing, menjadi marah, dan mungkin menemukan diri balik menyerang anak baru, kemudian menyesalinya nanti.

Sebelum marah menjadi benar-benar marah, ada baiknya orangtua melakukan beberapa hal berikut:

  1. Kenali Kemarahan

Langkah pertama untuk mengelola kemarahan adalah dengan memperhatikan tanda-tanda awal. Sangat penting untuk mengetahui dan mengatakan bahwa orangtua marah

  1. Cobalah untuk Tenang

Setelah melihat tanda-tanda awal kemarahan, orangtua dapat melakukan beberapa hal untuk mulai menenangkan diri. Seperti memulai dengan mengambil napas panjang, melakukan sesuatu yang menenangkan, seperti mendengarkan musik, membaca majalah, melihat keluar jendela, dan bahkan pergi keluar untuk lari atau berjalan untuk menenangkan diri. Tanda-tanda bahwa orangtua sudah berhasil menenangkan diri adalah ketika detak jantung melambat dan otot-otot menjadi rileks.

  1. Renungkan Situasi

Jika sudah merasa tenang, mungkin ide yang baik untuk merenungkan kembali situasi, dan memikirkan apa yang baru saja terjadi. Ini dapat membantu orangtua belajar dari pengalaman, dan menangani situasi serupa dengan lebih baik di masa depan. Bertanya pada diri sendiri:

“Seberapa pentingkah ini? Mengapa saya begitu kesal karenanya?”

"Bagaimana saya ingin menyelesaikan situasi ini?"

"Apakah saya perlu melakukan sesuatu tentang ini atau bisakah saya membiarkannya begitu saja?"

Memberi contoh yang baik untuk anak-anak adalah cara supaya anak juga menjadi tenang ketika sedang marah. Tunjukkan kalau ada cara yang sehat untuk menangani kemarahan. Kalau ingin tahu lebih banyak mengenai trauma anak akibat kemarahan orangtua, bisa tanyakan langsung ke Halodoc. Dokter-dokter yang ahli di bidangnya akan berusaha memberikan solusi terbaik untuk pasangan. Caranya, cukup download aplikasi Halodoc lewat Google Play atau App Store. Melalui fitur Contact Doctor, orangtua bisa memilih mengobrol lewat Video/Voice Call atau Chat.

Mulai Rp50 Ribu! Bisa Konsultasi dengan Ahli seputar Kesehatan