Retensio Plasenta Bahaya atau Tidak?

Ditinjau oleh  dr. Fadhli Rizal Makarim   17 Maret 2020
Retensio Plasenta Bahaya atau Tidak?Retensio Plasenta Bahaya atau Tidak?

Halodoc, Jakarta - Ketika melahirkan, secara alami plasenta keluar bersama dengan keluarnya sang buah hati dari dalam janin. Namun, dalam beberapa kasus, plasenta tidak ikut keluar bersamaan dengan bayi. Kondisi ini disebut dengan retensio plasenta.

Lalu, apakah retensio plasenta berbahaya? Apa yang menyebabkan ibu mengalami kondisi ini dan bagaimana tindakan pencegahan yang bisa dilakukan? Sebaiknya simak ulasan selengkapnya berikut ini.

Baca juga: 3 Jenis Gangguan Plasenta dan Cara Mengatasinya

Penyebab Retensio Plasenta

Plasenta adalah organ yang berfungsi menyediakan nutrisi dan oksigen bagi janin selama masa kehamilan. Selain itu, organ ini juga berfungsi menjaga kebersihan darah dari zat-zat berbahaya. Plasenta terbentuk di dalam rahim ketika kehamilan dimulai dan akan melekat di bagian atas dinding rahim.

Normalnya, plasenta keluar dengan sendirinya seiring dengan proses kelahiran. Jika plasenta tidak keluar setelah 30-60 menit setelah proses kelahiran, berarti ibu mengalami retensio plasenta.

Kondisi ini harus segera ditangani, karena meningkatkan risiko terjadinya infeksi dan perdarahan hebat setelah melahirkan. Studi yang dimuat dalam African Health Sciences menyebutkan bahwa retensio plasenta sering menjadi penyebab perdarahan post-partum.

Dikutip dari Healthline, retensio plasenta dibagi menjadi tiga jenis, berdasarkan penyebabnya, yaitu:

  • Plasenta akreta, ketika plasenta menempel terlalu dalam pada lapisan otot dinding rahim yang membuat perdarahan rentan terjadi.
  • Plasenta adheren, yang terjadi karena kurangnya kontraksi, sehingga plasenta yang seharusnya keluar justru tetap menempel pada dinding rahim. 
  • Plasenta terjebak, yang terjadi karena penutupan serviks di bawah rahim. 

Baca juga: Inilah 12 Faktor Pemicu Retensio Plasenta

Retensio plasenta ternyata lebih berisiko terjadi pada kondisi persalinan prematur, ibu hamil yang berusia di atas 30 tahun, bayi yang meninggal dalam kandungan, dan jeda yang terlalu lama antara persalinan anak pertama dan kedua. 

Gejala dan Diagnosis Retensio Plasenta

Dikutip dari American Pregnancy Association, gejala utama terjadinya retensio plasenta adalah tertinggalnya seluruh atau sebagian plasenta dalam rahim. Gejala lainnya termasuk perdarahan berat secara terus-menerus, demam, rasa sakit, berkurangnya ASI, dan keluarnya sebagian plasenta dengan aroma tidak sedap.

Sementara itu, diagnosis retensio plasenta dilakukan dengan menggunakan USG. Dengan begitu, akan diketahui apakah gejala yang ibu alami disebabkan karena adanya plasenta yang tertinggal atau karena hal-hal lain. 

Tindakan Pencegahan

Pada beberapa kondisi, dokter melakukan tindakan untuk mengeluarkan plasenta dari rahim agar komplikasi tidak terjadi, seperti prosedur CCT (controlled cord action) yang dilakukan dengan menjepit tali pusar dan sedikit menarik tali pusar bayi sambil menekan perut ibu.

Sementara itu, pemberian obat oksitosin untuk merangsang keluarnya plasenta juga mungkin diberikan untuk mencegah terjadinya retensio plasenta. Tindakan pencegahan lainnya bisa juga dengan melakukan pijatan ringan sekitar area rahim setelah bayi lahir.

Baca juga: Sebab dan Akibat Jika Plasenta Bayi Kecil

Sudah pasti, agar terhindar dari berbagai masalah atau komplikasi kehamilan, ibu wajib melakukan pemeriksaan kandungan secara rutin di rumah sakit terdekat. Jangan khawatir, sekarang ada aplikasi Halodoc yang membuat cek kehamilan di rumah sakit jadi lebih mudah, kok. Kalau ibu punya keluhan kesehatan, chat dengan dokter langsung juga bisa dengan aplikasi Halodoc, lho!

 

Referensi: 

African Health Sciences. Diakses pada 2020. The Retained Placenta
Healthline. Diakses pada 2020. Labor and Delivery: Retained Placenta
American Pregnancy Association. Diakses pada 2020. Retained Placenta

Mulai Rp25 Ribu! Bisa Konsultasi dengan Dokter seputar Kesehatan