Manfaat Quiet Quitting untuk Kesehatan Mental Karyawan
“Quiet quitting tidak hanya memberikan manfaat pada kesehatan mental karyawan secara individual melainkan juga interaksi dengan teman-teman sekantor. Quiet quitting akan mencegah persaingan tidak sehat yang saling sikut menyikut atau menjelek-jelekkan kawan kantor.”

Halodoc, Jakarta – Bekerja sesuai jobdesk saja, bekerja tidak usah berlebihan, bekerja tenggo saja. Pasti kamu sering mendengar nasihat-nasihat begini, kan? Dan sebagai kontra untuk pernyataan-pernyataan tersebut, dibilanglah kerja itu jangan hitung-hitungan, bagaimana atasan mau lihat performa kalau kerja hitung-hitungan? Akhirnya yang terjadi burnout, stres, dan lain-lainnya.
Quiet quitting adalah istilah kekinian untuk menggambarkan bekerja seadanya tadi. Dan ternyata, quiet quitting memberikan dampak yang positif pada kesehatan mental karyawan. Kehidupan kerja yang tidak seimbang dapat mengganggu kesehatan fisik, emosional dan mental jangka panjang. Makanya, solusi untuk kondisi ini adalah quiet quitting.
Bekerja Secukupnya ala Quiet Quitting Membuat Hidup Karyawan Lebih Bahagia
Quiet quitting adalah istilah baru untuk menggambarkan kondisi kerja karyawan yang tidak lagi beranggapan kerja untuk hidup ataupun kerja adalah segala-galanya. Quiet quitting lebih mengedepankan pada keseimbangan mental karyawan ketimbang mengutamakan pekerjaan yang membuat stres.
Kegagalan yang dirasakan di tempat kerja, seperti tidak mendapatkan promosi, pengakuan atas pencapaian kerja, drama dengan teman kerja, seringkali membuat karyawan merasa harus bekerja lebih baik, menghabiskan waktu lebih banyak di kantor yang pada akhirnya menciptakan lingkaran setan; sistem kerja yang membuat stres.
Ini membuat karyawan merasa lelah secara fisik dan mental, bahkan sampai burnout. Burnout adalah kelelahan signifikan dari terlalu banyak pekerjaan yang dapat memiliki dampak kesehatan fisik, emosional dan mental jangka panjang.
Terlalu mahal rasanya mengalami burnout untuk pekerjaan yang dengan cepat bisa tergantikan kapan saja. Itulah sebabnya quiet quitting akhirnya menjadi tren dilakukan di masa sekarang, demi menjaga kewarasan namun tetap terikat dengan pekerjaan–namun dalam ikatan yang normal dan tidak membebani.
Quiet quitting tidak hanya memberikan manfaat pada kesehatan mental karyawan secara individual melainkan juga interaksi dengan teman-teman sekantor. Quiet quitting akan mencegah persaingan tidak sehat yang saling sikut menyikut atau menjelek-jelekkan kawan kantornya, karena keinginan untuk “bersinar” tidak lagi yang menjadi utama, melainkan kedamaian diri dan keseimbangan emosi.
Pada akhirnya, quiet quitting membuat karyawan bisa menemukan passion lain selain lingkup pekerjaannya. Melakukan hobi, punya kesenangan lain, demi kehidupan yang lebih manusiawi.
Quiet quitting juga kerap digunakan karyawan sebagai cara untuk menghindari resign tapi tidak mau bekerja secara berlebihan. Menjawab tren ini, perusahaan ataupun atasan semestinya menciptakan lingkungan yang komunikatif, membangun keterlibatan, dan menciptakan ruang untuk karyawan bisa menyampaikan pendapatnya secara terbuka.
Bagaimana Menerapkan Quiet Quitting yang “Benar”
Ada banyak pemaknaan quiet quitting dan tidak semuanya baik untuk dilakukan. Secara karyawan terikat dengan perusahaan, sudah semestinya melakukan tugas tanggung jawab dengan benar.
Tidak menghadiri rapat, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan tepat waktu, kurangnya partisipasi, bukanlah sesuatu yang baik untuk dilakukan. Kalau kamu sedang jenuh dengan pekerjaanmu dan butuh keseimbangan bekerja dan ingin mempraktikkan quiet quitting, berikut adalah hal-hal yang bisa kamu lakukan:
1. Tetap Mengerjakan Tugas dan Tanggung jawab
Selama terikat dengan perusahaan, karyawan punya tugas dan tanggung jawab yang harus dipenuhi. Kamu tidak bisa mangkir dari pekerjaan, itu namanya melanggar aturan. Kamu bisa mengerjakan bagian dari tugas kamu saja dan tidak mengerjakan tugas-tugas tambahan lain.
2. Tidak Mau Diganggu di Luar Jam Kantor
Menetapkan batasan antara jam kantor dan jam luar kantor adalah menerapkan quiet quitting yang benar dan tidak melanggar aturan. Dalam job desk sudah jelas disebutkan jam operasional kantor dari jam berapa ke jam berapa. Tidak memberikan respon di luar jam kantor tidak menyalahi aturan, dan wujud kalau kamu ingin mendapatkan kehidupan yang lebih seimbang.
3. Tidak Mengambil Tugas di Luar Job Desk
Kamu punya kemampuan untuk membuat desain, tapi job desk-nya kamu hanyalah bagian administrasi–misalnya. Untuk itu, kamu tidak ambil bagian dalam tugas kerja di luar tugas-tugas utama.
4. Tidak Terlalu Melibatkan Diri dengan Drama Kantor
Kantor identik dengan drama sikut menyikut, gosip-gosip kantor, dan aktivitas sosial yang lebih cenderung basa-basi. Kamu tergolong melakukan quiet quitting yang masih bisa ditolerir dalam aturan perusahaan, jika tidak terlalu melibatkan diri dalam drama-drama kantor, bergabung seperlunya, tanpa peduli dengan siapa yang harus “dijilat” dan siapa yang harus diseruduk.
Itulah sekilas informasi mengenai quiet quitting yang sekarang ini jadi tren, manfaat serta cara melakukannya tanpa harus melanggar aturan kantor. Pada akhirnya, kesehatan mental adalah yang utama.
Kalau kamu berhenti kerja, perusahaan dengan mudah dapat menggantikanmu, tapi kalau kamu sudah terlanjur sakit, mental terganggu, memulihkannya butuh waktu lama. Bila saat ini kamu merasa sedang stres berat karena lingkungan kerja yang toxic tapi belum bisa resign karena belum dapat kerjaan baru, kontak saja Halodoc. Siapa tahu lewat mengobrol bersama profesional medis lewat aplikasi Halodoc, kamu bisa mendapatkan pencerahan. Tetap semangat, ya!


