halodoc-banner
  • Kamus Kesehatan A-Z
  • Perawatan Khusus keyboard_arrow_down
  • Cek Kesehatan Mandiri keyboard_arrow_down
close
halodoc-logo
Download app banner

sign-in logo Masuk

home icon Beranda


Layanan Utama

keyboard_arrow_down
  • Chat dengan Dokter icon

    Chat dengan Dokter

  • Toko Kesehatan icon

    Toko Kesehatan

  • Homecare icon

    Homecare

  • Asuransiku icon

    Asuransiku

  • Haloskin icon

    Haloskin

  • Halofit icon

    Halofit

Layanan Khusus

keyboard_arrow_down
  • Kesehatan Kulit icon

    Kesehatan Kulit

  • Kesehatan Seksual icon

    Kesehatan Seksual

  • Kesehatan Mental icon

    Kesehatan Mental

  • Kesehatan Hewan icon

    Kesehatan Hewan

  • Perawatan Diabetes icon

    Perawatan Diabetes

  • Kesehatan Jantung icon

    Kesehatan Jantung

  • Parenting icon

    Parenting

  • Layanan Bidan icon

    Layanan Bidan

Cek Kesehatan Mandiri

keyboard_arrow_down
  • Cek Stres icon

    Cek Stres

  • Risiko Jantung icon

    Risiko Jantung

  • Risiko Diabetes icon

    Risiko Diabetes

  • Kalender Kehamilan icon

    Kalender Kehamilan

  • Kalender Menstruasi icon

    Kalender Menstruasi

  • Kalkulator BMI icon

    Kalkulator BMI

  • Pengingat Obat icon

    Pengingat Obat

  • Donasi icon

    Donasi

  • Tes Depresi icon

    Tes Depresi

  • Tes Gangguan Kecemasan icon

    Tes Gangguan Kecemasan


Kamus Kesehatan

Artikel

Promo Hari Ini

Pusat Bantuan

Chat dengan Dokter icon

Chat dengan Dokter

Toko Kesehatan icon

Toko Kesehatan

Homecare icon

Homecare

Asuransiku icon

Asuransiku

Haloskin icon

Haloskin

Halofit icon

Halofit

search
Home
Kesehatan
search
close
Advertisement

Stiff person syndrome

REVIEWED_BY  dr. Fauzan Azhari SpPD  
undefinedundefined

DAFTAR ISI

  • Apa Itu Stiff Person Syndrome?
  • Penyebab Stiff Person Syndrome
  • Faktor Risiko Stiff Person Syndrome
  • Gejala Stiff Person Syndrome
  • Diagnosis Stiff Person Syndrome
  • Pengobatan Stiff Person Syndrome
  • Komplikasi Stiff Person Syndrome
  • Pencegahan Stiff Person Syndrome
  • Kapan Harus ke Dokter?

Apa Itu Stiff person syndrome?

Stiff person syndrome (SPS) merupakan kelainan neurologis autoimun yang tergolong langka. Orang yang memiliki kondisi ini biasanya merasakan kaku pada otot badan dan perut (bagian tengah tubuh).

Seiring berjalan waktu, pengidap akan mengalami kekakuan (rigiditas) dan kejang di kaki dan otot lainnya. Sehingga pengidap stiff person syndrome mungkin akan kesulitan berjalan, bahkan rentan untuk jatuh dan cedera. 

Penyebab Stiff person syndrome

Hingga saat ini belum diketahui secara pasti stiff person syndrome. Namun, ahli mencurigai bahwa ini adalah kondisi autoimun atau sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel sehat untuk alasan yang tidak diketahui. 

Kebanyakan pengidap SPS memiliki antibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (anti-GAD). GAD yang berperan dalam membuat neurotransmitter yang disebut gamma-aminobutyric acid (GABA), yang membantu mengontrol pergerakan otot. 

Namun, ahli belum memahami peran GAD yang sebenarnya dalam perkembangan dan memburuknya SPS.

Hanya saja, yang penting untuk diperhatikan, bahwa keberadaan antibodi GAD bukan berarti seseorang mengidap SPS. Bahkan, sebagian kecil dari populasi umum memiliki antibodi GAD tanpa efek samping. 

SBS terbagi dalam beberapa jenis atau klasifikasi yang berbeda, antara lain:

  • SPS Klasik: Merupakan jenis yang paling umum. Jenis SPS klasik berkaitan dengan antibodi GAD.
  • SPS variants: Ada beberapa varian SPS yang dapat melibatkan bagian tubuh tertentu atau melibatkan inkoordinasi yang lebih menonjol (ataksia). SPS variants juga berkaitan dengan kanker payudara, kanker usus besar, kanker tiroid, kanker paru-paru, serta limfoma hodgkin dan non-hodgkin. Namun, ia cenderung bermanifestasi sebelum kanker itu berkembang dan disebabkan oleh antibodi yang berbeda dari SPS klasik.
  • Ensefalomielitis progresif dengan kekakuan dan mioklonus (PERM): PERM merupakan jenis SPS yang lebih parah yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran, masalah gerakan mata, ataksia, dan disfungsi otonom. Jenis SPS ini umumnya butuh perawatan di rumah sakit karena adanya disfungsi otonom.

Faktor Risiko Stiff person syndrome

Perempuan dua kali lebih mungkin mengalami SPS dibandingkan laki-laki. Selain itu, SPS dapat berkembang pada usia berapapun, tapi gejala lebih sering muncul pada usia 30 hingga 40 tahunan. SPS juga dikaitkan dengan adanya kondisi autoimun lainnya, seperti:

  • Diabetes tipe 1
  • Penyakit tiroid autoimun
  • Vitiligo
  • Anemia pernisiosa
  • Penyakit celiac.

Gejala Stiff person syndrome

SPS dapat menyebabkan kekakuan otot. Gejalanya meliputi:

  • Kekakuan yang ekstrim.
  • Otot inti terasa kaku.
  • Memiliki masalah postur dari otot punggung yang kaku, sehingga jadi membungkuk.
  • Kejang otot yang terasa sakit.
  • Kesulitan berjalan.
  • Masalah sensorik, seperti kepekaan terhadap cahaya, kebisingan, dan suara. 

Gejala kejang pada pengidap SPS bisa terasa kuat dan menyebabkan pengidap jatuh jika berdiri. Bahkan pengidap rentan mengalami patah tulang akibat kejang.

Selain itu, kejang mungkin jadi lebih buruk saat cemas atau stres. Gerakan secara tiba-tiba, suara keras, atau sentuhan juga bisa memicu kejang yang tidak disengaja. 

Orang yang hidup dengan kondisi SPS, mungkin juga mengalami depresi atau kecemasan. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh gejala lain. Potensi tekanan emosional dapat meningkat seiring perkembangan SPS.

Diagnosis Stiff person syndrome

Dokter akan melakukan satu atau lebih pemeriksaan untuk mendiagnosa stiff person syndrom. Pemeriksaan tersebut diantaranya:

  • Tes darah antibodi. Pemeriksaan untuk memeriksa keberadaan antibodi terhadap GAD dan tanda-tanda lain yang mungkin menunjukkan adanya penyakit lain.
  • Elektromiografi (EMG). Dilakukan untuk mengukur aktivitas listrik di otot dan untuk mengidentifikasi penyebab lainnya. 
  • Pungsi lumbal (pengambilan cairan serebrospinal dari tulang belakang bagian bawah). Selama pemeriksaan ini, dokter akan menggunakan jarum untuk menarik cairan dari saluran tulang belakang untuk memeriksa keberadaan antibodi terhadap GAD. Pemeriksaan ini juga dapat mengidentifikasi tanda-tanda lainnya. 

Pengobatan Stiff person syndrome

Hingga saat ini, belum ada obat untuk SPS. Adapun perawatan hanya untuk membantu mengelola gejala. Perawatan juga mencegah kondisi menjadi lebih buruk. Gejala kejang dan kekakuan otot dapat diobati dengan beberapa obat berikut:

  • Baclofen untuk melemaskan otot.
  • Benzodiazepin
  • Gabapentin, sebagai obat anti kejang.
  • Antikonvulsan.

Kamu mungkin juga perlu minum obat untuk mengatasi rasa sakit dan ketidaknyamanan. Selain itu, antidepresan seperti inhibitor reuptake serotonin selektif, mungkin juga diresepkan untuk mengatasi depresi dan kecemasan. 

Perawatan tambahan lainnya juga direkomendasikan untuk mencegah SPS semakin parah, yaitu berupa:

  • Transplantasi sel induk autologus. Proses darah dan sel sumsum tulang dikumpulkan dan digunakan sebelum dipindahkan kembali ke tubuh. Cara ini juga mendukung pembentukan sel kekebalan yang mencegah proses autoimun SPS.
  • Imunoglobulin intravena. Perawatan ini dapat menurunkan jumlah antibodi yang menyerang jaringan sehat.
  • Plasmapheresis. Prosedur untuk menukar plasma darah dengan plasma baru, untuk mengurangi jumlah antibodi dalam tubuh.
  • Obat penekan kekebalan. Seperti rituximab dan tacrolimus. 

Selain obat-obatan, dokter mungkin juga merujuk kamu ke terapi fisik. Namun terapi fisik saja tidak dapat mengobati SPS. Meski begitu tetap dapat membantu secara signifikan untuk:

  • Kesejahteraan emosional.
  • Berjalan
  • Mengatasi nyeri
  • Meningkatkan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari.

Komplikasi Stiff person syndrome

Seiring waktu, kondisi ini dapat membatasi pergerakan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Jika tidak ditangani dengan baik, SPS juga dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang memengaruhi kualitas hidup penderitanya.

Berikut beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat stiff person syndrome:

1. Gangguan Kesehatan Mental

Penderita SPS sering mengalami kecemasan dan depresi, terutama karena rasa sakit kronis, keterbatasan mobilitas, serta ketidakpastian terhadap perkembangan penyakitnya.

Kondisi ini juga dapat memicu stres emosional akibat hilangnya kemandirian dalam melakukan aktivitas harian.

2. Cedera Tulang dan Sendi

Kejang otot yang parah dapat menyebabkan tulang terkilir, retak, bahkan patah, terutama pada tulang punggung, bahu, dan tungkai.

Risiko ini meningkat karena otot yang kaku cenderung menarik sendi secara tiba-tiba saat spasme terjadi.

3. Risiko Jatuh yang Tinggi

Penderita SPS kerap mengalami kekakuan pada punggung dan tungkai, yang membuat postur tubuh menjadi tegang dan tidak stabil.

Akibatnya, keseimbangan tubuh terganggu, dan penderita lebih mudah terjatuh, bahkan hanya karena gerakan kecil atau suara mendadak yang mengejutkan.

4. Gangguan Vegetatif

Beberapa penderita juga mengalami keringat berlebih (hiperhidrosis), perubahan suhu tubuh, atau detak jantung yang tidak teratur.

Hal ini terjadi karena gangguan sistem saraf otonom yang turut terpengaruh oleh proses autoimun dalam tubuh.

5. Keterbatasan Mobilitas dan Kualitas Hidup

Dalam kasus yang berat, SPS dapat membuat penderita sulit berjalan, berdiri, atau melakukan aktivitas sederhana, seperti berpakaian atau makan sendiri.

Keterbatasan fisik ini sering kali memerlukan bantuan perawatan jangka panjang dan berdampak besar pada kualitas hidup.

Pencegahan Stiff person syndrome

Hingga kini, stiff person syndrome belum dapat dicegah sepenuhnya, karena penyebab utamanya berkaitan dengan gangguan sistem autoimun yang menyerang saraf dan otot.

Meski begitu, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk membantu mengurangi risiko kekambuhan dan memperlambat perburukan gejala:

  1. Rutin kontrol ke dokter spesialis saraf. Pemantauan medis berkala membantu mendeteksi perubahan gejala sejak dini, sehingga pengobatan dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
  2. Konsumsi obat sesuai resep dokter. Penggunaan obat antikejang, relaksan otot, atau terapi imunomodulator bisa membantu mengendalikan kekakuan otot dan menekan respon autoimun.
  3. Lakukan fisioterapi secara rutin. Terapi fisik membantu menjaga kelenturan otot, meningkatkan keseimbangan, dan mencegah sendi menjadi kaku permanen.
  4. Kelola stres dengan baik. Stres emosional dapat memperparah gejala SPS. Teknik relaksasi seperti meditasi, yoga, atau konseling psikologis bisa membantu menjaga kesehatan mental.
  5. Jaga gaya hidup sehat. Cukup tidur, makan bergizi, dan hindari rokok serta alkohol untuk mendukung daya tahan tubuh secara keseluruhan.

Meskipun belum ada cara spesifik untuk mencegah timbulnya stiff person syndrome, pengelolaan yang tepat dan perawatan rutin dapat membantu memperlambat perkembangan penyakit serta meningkatkan kualitas hidup penderita.

Kapan Harus ke Dokter?

Jika kamu memiliki faktor risiko SPS atau mengalami gejala yang mengkhawatirkan, sebaiknya segera periksakan ke dokter.

Jika kamu punya pertanyaan lain terkait kondisi ini, hubungi dokter spesialis penyakit dalam di Halodoc saja!

Jangan khawatir, dokter di Halodoc tersedia 24 jam sehingga kamu bisa menghubunginya kapan pun dan dimana pun. Tunggu apa lagi? Klik banner di bawah ini untuk menghubungi dokter terpercaya:

Artikel ini diperbarui pada 15 Oktober 2025
Referensi:
Cleveland Clinic. Diakses pada 2023. Stiff Person Syndrome
Healthline. Diakses pada 2023. Stiff Person Syndrome: Symptoms, Causes, and Treatment
Rare Diseases. Diakses pada 2023. Stiff Person Syndrome

TRENDING_TOPICS

VIEW_ALL
share on facebook
share on twitter
share on whatsapp
share on facebook
share on twitter
share on whatsapp