Ini Pentingnya Menceritakan Gejala COVID-19 yang Dialami ke Media Sosial

Ditinjau oleh  dr. Rizal Fadli   12 Januari 2021
Ini Pentingnya Menceritakan Gejala COVID-19 yang Dialami ke Media SosialIni Pentingnya Menceritakan Gejala COVID-19 yang Dialami ke Media Sosial

Halodoc, Jakarta - Pandemi virus corona yang terjadi sejak Maret 2020 tampaknya masih sangat sulit untuk dikendalikan di banyak negara. Mungkin kini virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 sudah menyerang orang-orang terdekatmu. Data dari Worldometer (12/1/2021) juga menunjukkan sudah ada lebih dari 91 juta orang terinfeksi virus ini, dengan total kematian mencapai 1,9 juta orang. 

Meski banyak negara sudah mulai kewalahan menekan angka kasus harian, nyatanya masih saja banyak orang yang tidak memercayai keberadaan virus ini, atau mungkin meyakini tetapi tidak mengindahkan protokol kesehatan yang ada. Apalagi setelah gelombang ketiga virus corona menyebar di seluruh Amerika Serikat, Michael Rapaport yang merupakan seorang komedian menyerukan agar para pengikutnya di Instagram menceritakan gejala COVID-19 yang dialami ke media sosial. Ia juga menekankan agar atlet, aktor, dan publik figur lainnya melakukan hal demikian dan tidak diam saja.

Michael berharap agar lebih banyak orang mulai menceritakan kisah mereka. Karena menurutnya, untuk melewati pandemi ini, semua orang perlu mendengarkan kisah nyata dari para penyintas. Lantas, apa sih alasan perlunya menceritakan gejala COVID-19 yang dialami lewat media sosial? Apakah hal ini mampu menekan angka penyebaran infeksi? Mari simak ulasannya berikut!

Baca juga: Ini Fakta tentang Varian Baru Virus Corona dari Afrika Selatan

Pentingnya Kisah Penyintas COVID-19 untuk Masyarakat

Salah satu alasan mengapa beberapa orang tidak mengungkapkan bahwa mereka mengidap COVID-19 karena mereka enggan mendapat stigma negatif dari masyarakat. Mengutip Huffpost, warga di Amerika Serikat mengatakan bahwa mereka merasa dihantui atau direndahkan oleh teman-temannya setelah terkena virus. Beberapa mengatakan mereka kehilangan pekerjaan setelah mengungkapkan hasil tes yang positif.

Stigma negatif akan sebuah penyakit memang bukanlah hal baru. Di masa lalu, stigma telah melingkupi epidemi lain, terutama HIV-AIDS. Beberapa masalah kesehatan yang lebih umum seperti merokok, gangguan penggunaan narkoba, dan obesitas juga tak terhindar dari stigma negatif yang berkembang di masyarakat. 

Shane G. Owens, psikolog di Farmingdale State College SUNY mengatakan bahwa beberapa orang mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa mereka yang tertular COVID-19 pasti telah "melakukan kesalahan". Karena menjaga kesehatan melibatkan hal-hal seperti mencuci tangan dan tidak menyentuh wajah. Sebagian orang mungkin menganggap orang yang sakit telah melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab sehingga bisa terinfeksi. Alhasil, mereka benar-benar berpikir bahwa mereka telah melakukan pelanggaran protokol kesehatan dan pantas untuk dianggap buruk oleh masyarakat. 

Jika mereka menceritakan gejala yang mereka alami ke media sosial, mereka akan merasa semakin disingkirkan oleh teman-teman mereka. Padahal kenyataanya, penyebaran virus semakin tak terkendali, bahkan jika kamu sudah berusaha seaman dan higienis mungkin. Tak ada jaminan untuk bisa terhindar dari virus corona, kecuali jika kamu benar-benar terisolasi, yang mana ini adalah hal yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia untuk bertahan hidup. 

Baca juga: Ini Tempat yang Berisiko Tinggi Menularkan COVID-19

Namun, alih-alih posting "Saya positif COVID-19", orang-orang belakangan hanya menggunakan media sosial untuk memamerkan momen liburan mereka, bahkan dengan melanggar protokol kesehatan. Unggahan yang menimbulkan rasa iri ini sangat kontras dengan berita utama suram yang memperingatkan semua orang tentang peningkatan kasus.

Meski ini tidak secara langsung menekan angka kasus harian, kisah dari para penyintas COVID-19 adalah hal yang penting untuk mendesak orang agar menanggapi virus dengan serius, bahkan jika mereka adalah orang tanpa gejala. Mereka juga mungkin akan paham apa saja yang perlu mereka lakukan untuk bisa segera pulih dan tidak menyebarkan virus ke orang lain. Ini juga dilakukan untuk mencegah stigma negatif di masyarakat. Jangan sampai stigma negatif seperti infeksi HIV pada masa awal penyebarannya kembali terjadi. 

Baca juga: COVID-19 Dapat Sebabkan Kerusakan Otak Jangka Panjang?

Apa Saja yang Harus Dibagikan ke Media Sosial Saat Terinfeksi COVID-19?

Jika kamu memutuskan untuk membagikan ceritamu saat terinfeksi COVID-19 di media sosial, pertimbangkan untuk mendeskripsikan gejala jangka panjang juga, bukan hanya gejala yang kamu alami pada masa puncak penyakit. Ini terutama dapat memvalidasi korban COVID-19 jangka panjang, yang gejalanya umumnya kurang dibahas dalam liputan media. Padahal, ini juga berguna bagi peneliti dan dokter, yang masih mencoba mencari tahu tentang virus tersebut.

Mungkin kini cukup sulit untuk menempatkan diri di masyarakat terutama warga internet, tetapi membagikan cerita ini bisa sangat berharga. Mungkin orang-orang bisa menanggapi COVID-19 dengan serius lagi setelah membaca cerita yang dibagikan.

Kamu juga bisa ingatkan kepada orang-orang untuk segera mendiskusikan gejala atau bahkan hasil tes COVID-19 kepada dokter di Halodoc. Dokter di Halodoc akan selalu siaga memberikan saran kesehatan, bahkan memberikanmu resep obat dan tips kesehatan untuk memperkuat kekebalan tubuhmu. Mendiskusikan kondisi kesehatanmu dengan dokter di Halodoc pun lebih aman karena kamu bisa melakukannya di rumah, sehingga kamu bisa menghindari penularan virus.

Referensi:
Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada 2021. Coronavirus Disease 2019.
Huff Post. Diakses pada 2021. Please Start Posting About Your COVID-19 Symptoms On Social Media.
Worldometer. Diakses pada 2021. COVID-19.


Mulai Rp50 Ribu! Bisa Konsultasi dengan Ahli seputar Kesehatan