Kasus KDRT Dikaitkan dengan Stockholm Syndrome, ini Penjelasannya

3 menit
Ditinjau oleh  dr. Rizal Fadli   18 Oktober 2022

“Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang tengah ramai dibicarakan, kini dikaitkan dengan Stockholm Syndrome. Sindrom ini malah membuat korbannya menaruh rasa simpati pada pelaku.”

Kasus KDRT Dikaitkan dengan Stockholm Syndrome, ini PenjelasannyaKasus KDRT Dikaitkan dengan Stockholm Syndrome, ini Penjelasannya

Halodoc, Jakarta – Belakangan ini, berbagai platform media sosial, tengah ramai memperbincangkan kasus KDRT yang dialami oleh pasangan artis. Kasus yang ditindaklanjuti dengan penetapan suami sebagai tersangka tersebut, pada akhirnya kembali menjadi sorotan.

Pasalnya, istri dari tersangka diketahui mencabut laporan KDRT. Kabarnya tindakan tersebut diambil bertujuan demi memperbaiki rumah tangga keduanya. 

Akibatnya, banyak netizen yang dibuat geram dengan tindakan sang istri. Meski pada awalnya orang-orang simpatik terhadap sang istri karena menjadi korban kekerasan. Tidak sedikit juga netizen yang kemudian mengaitkan perubahan sikap dari sang istri terhadap suaminya, dengan istilah Stockholm Syndrome

Lantas, apakah yang dimaksud dengan Stockholm syndrome

Pengertian Stockholm Syndrome

Sindrom Stockholm atau Stockholm syndrome merupakan respons psikologis dari seseorang. Respon ini terjadi ketika sandera atau korban tindak kekerasan, memiliki keterikatan dengan penculik atau pelaku kekerasan. Hubungan psikologis ini dapat berkembang selama berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun, selama korban ditahan atau dianiaya.

Dengan sindrom ini, sandera atau korban kekerasan mungkin malah akan bersimpati dengan penculiknya atau abuser-nya. Sebab, kondisi adalah kebalikan dari ketakutan, teror, dan penghinaan yang mungkin diharapkan dari para korban dalam situasi ini. 

Seiring berjalannya waktu, beberapa korban memang mengembangkan perasaan positif terhadap penculiknya. Mereka bahkan mungkin mulai merasa seolah-olah mereka memiliki tujuan yang sama.

Korban mungkin mulai mengembangkan perasaan negatif terhadap polisi atau pihak berwenang. Mereka mungkin membenci siapa pun yang mungkin mencoba membantu mereka melarikan diri dari situasi berbahaya yang mereka hadapi. Paradoks ini tidak terjadi pada setiap sandera atau korban, dan tidak jelas mengapa hal itu terjadi.

Pertama Ditemukan pada Tahun 1973

Banyak psikolog dan profesional medis menganggap sindrom Stockholm sebagai mekanisme koping, atau cara untuk membantu korban menangani trauma dari situasi yang menakutkan. Perlu diketahui bahwa sindrom ini pertama ditemukan pada 1973 silam, oleh Nils Bejerot, seorang kriminolog asal Stockholm, Swedia. Dirinya menggunakan istilah ini untuk menjelaskan reaksi tak terduga para korban dalam sebuah serangan bank, terhadap pelaku penculikan.

Penculikan tersebut memang membuat jiwa korban terancam, tapi para korban tetap menjalin hubungan positif dengan penculiknya. Bahkan, para korban juga membantu pelaku membayar pengacara untuk menangani kasusnya setelah terungkap. 

Sayangnya, hingga saat ini, alasan mengapa korban pelaku penculikan, kekerasan, atau pelecehan dapat memberikan reaksi positif pada pelaku, masih belum diketahui.

Bagaimana dengan Tandanya?

Stockholm  syndrome dikenali oleh tiga peristiwa atau “gejala” yang berbeda,  yaitu:

  • Korban mengembangkan perasaan positif terhadap orang yang menahan mereka atau menyiksa mereka.
  • Korban mengembangkan perasaan negatif terhadap polisi, figur otoritas, atau siapa pun yang mungkin mencoba membantu mereka melarikan diri dari penculik atau pelaku kejahatan lainnya. Para korban bahkan mungkin berpotensi menolak bekerja sama untuk melawan pelaku.
  • Korban mulai merasakan rasa kemanusiaan dari pelaku kejahatan, dan percaya bahwa mereka memiliki tujuan dan nilai yang sama.

Perasaan ini biasanya terjadi karena situasi emosional dan penuh muatan yang terjadi selama situasi penyanderaan, siklus pelecehan, maupun tindak kekerasan. Misalnya, orang yang diculik dan disandera sering merasa terancam oleh penculiknya. Tetapi, mereka juga sangat bergantung pada penculiknya untuk bertahan hidup. 

Jika penculik atau pelaku kekerasan menunjukkan kebaikan kepada mereka, mereka mungkin mulai merasakan perasaan positif terhadap penculiknya karena belas kasih yang diberikan. 

Itulah penjelasan mengenai Stockholm syndrome yang kini dikaitkan dengan fenomena kasus KDRT pada pasangan artis yang tengah ramai di media sosial.  Jika kamu masih memiliki pertanyaan seputar sindrom ini atau sedang stres, segeralah hubungi psikolog.

Melalui aplikasi Halodoc, kamu bisa tanya psikolog tepercaya untuk mendapatkan informasi medis yang tepat. Tentunya melalui fitur chat/video call secara langsung. Jadi, tunggu apa lagi? Yuk, download Halodoc sekarang juga!

Referensi:
CNN Indonesia. Diakses pada 2022. Kasus Lesti Kejora Dikaitkan dengan Stockholm Syndrome, Apa Itu?
Healthline. Diakses pada 2022. What is Stockholm Syndrome and Who Does it Affect?
WebMD. Diakses pada 2022. What Is Stockholm Syndrome?

Mulai Rp25 Ribu! Bisa Konsultasi dengan Dokter seputar Kesehatan