Advertisement

Mengenal Istilah Flexing di Media Sosial, Penyebab dan Cara Menghindarinya

8 menit
Ditinjau oleh  dr. Fadhli Rizal Makarim   15 Februari 2025

"Semenjak adanya platform media sosial, tak sedikit orang yang flexing alias pamer kemewahan, kebahagiaan dan kesuksesannya. Padahal, hal ini bisa membuat seseorang rendah diri apabila melihat perilaku tersebut."

Mengenal Istilah Flexing di Media Sosial, Penyebab dan Cara MenghindarinyaMengenal Istilah Flexing di Media Sosial, Penyebab dan Cara Menghindarinya
Istilah flexing sering berseliweran di media sosial. Lantas, apa sih arti flexing itu? Singkatnya, flexing adalah perilaku menunjukan prestasi, kebahagiaan, dan hidup mewah di media sosial.

Sebenarnya, perilaku ini mulanya bukanlah persoalan penting sebelum platform media sosial marak seperti sekarang. Namun, di era digital yang semuanya serba di posting, flexing ternyata memberikan sejumlah dampak yang signifikan bagi kehidupan.

Apa Itu Flexing?

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, flexing merupakan istilah slang yang menggambarkan perilaku kemewahan, prestasi atau hubungan yang bahagia di media sosial.

Tujuannya untuk mendapatkan pujian, pengakuan atau membuat orang lain iri dengan pencapaian kita.

Namun, kenyataannya bisa jauh berbeda dari yang ditampilkan media sosial. Perilaku ini hanya menjadi cara untuk menciptakan citra palsu tentang diri sendiri.

Tidak selalu terang-terangan, ada juga tipe orang yang flexing dengan Suka Merendah untuk Pamer Alias Humble Bragging.

Penyebab Seseorang Flexing di Media Sosial

Lantas, apa sih yang membuat seseorang melakukan flexing? Ada banyak faktornya.

Beberapa hal yang mendorong seseorang untuk melakukan perilaku ini yaitu:

1. Memiliki perasaan rendah diri

Orang-orang dengan perasaan rendah diri mungkin merasa perlu flexing untuk mendapatkan pengakuan dan pujian dari orang lain.

Mereka berharap bahwa dengan menunjukkan kesuksesan dan kebahagiaan di media sosial bisa lebih mendapat penghargaan.

2. Mengalami tekanan sosial

Melihat orang-orang yang sukses di media sosial juga bisa memicu tekanan sosial. Alhasil, orang yang merasa tertekan merasa harus menyamai kesuksesan tersebut dengan cara flexing.

Ada dorongan besar untuk menampilkan citra yang tidak selalu mencerminkan kenyataan sebenarnya.

3. Suka membandingkan

Dorongan flexing juga bisa muncul akibat sering membandingkan diri dengan orang lain di media sosial.

Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka setidaknya sebanding atau lebih baik daripada yang lain.

4. Punya dukungan finansial

Orang-orang yang memiliki dukungan finansial yang kuat mungkin merasa mudah untuk melakukan flexing.

Sebab, mereka memiliki kemampuan yang cukup untuk mencapai gaya hidup yang diinginkan sehingga bisa ditunjukkan di media sosial.

Tujuan di Balik Perilaku Flexing:

Ada beberapa hal yang bisa menjadi tujuan perilaku flexing saat ini seperti

Mencari Validasi dan Pengakuan Diri

Salah satu pendorong utama perilaku flexing adalah kebutuhan manusia akan validasi. Dalam psikologi, validasi mengacu pada pengakuan dan penerimaan atas emosi, pikiran, dan pengalaman seseorang. Di media sosial, flexing menjadi cara untuk mencari validasi eksternal melalui pujian, likes, komentar positif, dan pengakuan dari orang lain. Dengan memamerkan pencapaian materi atau gaya hidup tertentu, individu berharap mendapatkan pengakuan yang dapat meningkatkan harga diri dan rasa percaya diri mereka. Validasi ini, meskipun bersifat eksternal, dapat memberikan rasa nyaman dan diterima dalam komunitas online.

Meningkatkan Status Sosial dan Daya Tarik

Flexing juga seringkali bertujuan untuk meningkatkan status sosial. Dalam masyarakat, status sosial seringkali dikaitkan dengan kekayaan, kekuasaan, dan gaya hidup yang dianggap ideal. Melalui flexing, individu berusaha untuk memproyeksikan citra diri sebagai orang yang sukses, berkelas, dan diinginkan. Pameran barang mewah, liburan eksklusif, atau pencapaian tertentu diharapkan dapat meningkatkan persepsi orang lain terhadap status sosial mereka. Dalam konteks media sosial, status sosial online ini dapat diterjemahkan menjadi pengaruh yang lebih besar, jaringan yang lebih luas, dan peluang sosial atau ekonomi yang lebih banyak.

Membangun Personal Branding dan Citra Diri

Di era ekonomi digital, flexing juga dapat menjadi strategi personal branding. Individu, terutama influencer atau tokoh publik, dapat menggunakan flexing untuk membangun citra diri yang menarik dan aspiratif. Dengan memamerkan gaya hidup tertentu, mereka menciptakan narasi tentang diri mereka yang ingin diproyeksikan kepada pengikut dan audiens yang lebih luas. Personal branding melalui flexing dapat digunakan untuk menarik perhatian merek, membangun kemitraan bisnis, atau meningkatkan daya tarik komersial. Dalam konteks ini, flexing menjadi alat pemasaran diri yang strategis untuk mencapai tujuan karir atau finansial.

Sisi Gelap Flexing

Meskipun flexing dapat dipahami sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan psikologis atau mencapai tujuan sosial tertentu, penting untuk mengakui sisi negatifnya. Perilaku flexing yang berlebihan dan tidak autentik dapat menimbulkan berbagai masalah, termasuk:

  • Inauthenticity (Ketidakaslian): Flexing yang berlebihan dapat menciptakan citra diri yang tidak autentik dan palsu, yang dapat merusak hubungan sosial yang sebenarnya.
  • Perbandingan Sosial Negatif: Pameran kekayaan dan gaya hidup mewah di media sosial dapat memicu perbandingan sosial negatif pada orang lain, menyebabkan perasaan iri, rendah diri, dan kecemasan.
  • Tekanan Finansial: Upaya untuk terus flexing dapat mendorong individu untuk mengeluarkan uang secara berlebihan dan tidak bertanggung jawab, bahkan berhutang, demi mempertahankan citra yang diproyeksikan.

Akibat Tindakan Flexing

Walaupun bukan perilaku yang buruk, tindakan ini bisa menimbulkan dampak yang negatif bagi orang yang melakukannya atau masyarakat secara keseluruhan.

Berikut sejumlah akibatnya:

1. Selalu merasa tidak cukup

Seseorang yang melihat perilaku flexing di media sosial bisa memengaruhi pikiran mereka.

Alhasil, mereka selalu merasa tidak cukup atau kurang sukses dalam hidupnya. Dampaknya bisa memicu perasaan rendah diri, insecure, dan depresi.

2. Salah persepsi

Flexing juga bisa membuat seseorang salah persepsi terhadap kesuksesan dan kebahagiaan orang lain.

Mereka bisa berpikir bahwa tolak ukur kebahagiaan seseorang diukur dari kesuksesan dan kemewahan. Hal ini lah yang bisa berujung pada ketidakpuasan diri dan bisa memicu masalah mental.

3. Stres

Sedangkan efeknya pada orang yang melakukan flexing yakni merasa tertekan. Mereka merasa harus mempertahankan citra palsunya di media sosial.

Mereka juga merasa harus terus bersaing untuk meningkatkan kehidupannya yang mewah supaya bisa terus disegani. Alhasil, hal ini membuatnya stres bahkan depresi.

Untuk informasi mengenai masalah kesehatan mental lainnya, kamu bisa cek di: Jelajahi Topik Konseling Umum.

4. Isolasi diri

Namun, ketika orang tersebut gagal mempertahankan citranya yang sempurna, mereka menjadi tidak nyaman untuk berinteraksi dengan orang lain.

Nah, kondisi ini yang menjadi cikal bakal isolasi sosial. Akibatnya, orang tersebut sulit membangun hubungan yang sehat dan langgeng.

5. Perasaan iri

Rupanya, seseorang yang suka flexing malah lebih sering merasa iri dan tidak bahagia dengan hidupnya sendiri. Sebab, di dalam dirinya ingin menjadi pusat perhatian.

Namun, ketika ada orang lain yang melebihi dirinya, mereka menjadi iri dan terus merasa kurang. Hal inilah yang membuatnya tidak bahagia.

Jika ingin mengetahui masalah kesehatan mental lainnya, kamu bisa cek di sini: Jelajahi Topik Konseling Umum.

Cara Menghindari Flexing

Melihat dampak-dampak seperti di atas, bagaimana cara supaya tidak flexing atau mengurangi efeknya? Berikut beberapa cara yang bisa kamu lakukan:

1. Kesadaran diri

Pertama-tama, kamu perlu memiliki kesadaran diri saat menggunakan media sosial.

Tetapkan tujuan mengapa kamu ingin menggunakan platform ini. Jika ternyata kamu terlalu fokus pada penampilan dan pencapaian, sebaiknya mulai refleksikan diri untuk mengurangi hal itu.

Ingatlah bahwa apa yang kamu lihat di media sosial adalah hanya sepotong kehidupan seseorang saja.

Orang-orang hanya menampilkan versi kehidupan terbaiknya saja. Kamu tidak tahu masalah dan kendala apa yang sedang mereka hadapi.

2. Buat batasan

Jika kamu mulai terganggu dengan perilaku orang-orang yang suka flexing jangan ragu untuk membuat sebuah batasan.

Caranya bisa dengan mengurangi jumlah waktu berselancar di media sosial. Tentukan batasan harian atau mingguan untuk seberapa lama kamu boleh membuka platform ini.

3. Fokus pada hal yang penting saja

Alihkan perhatian kamu dari perilaku flexing dengan fokus pada hal-hal yang nyata dalam hidupmu sendiri.

Misalnya fokus menjaga hubungan dengan orang yang kamu cintai, melakukan pekerjaan dengan baik atau melakukan hobi yang kamu sukai.

Karena banyaknya Tren Flexing di Media Sosial, Ini 5 Cara Bijak Menyikapinya.

4. Jangan membandingkan diri dengan orang lain

Jangan pernah membandingkan diri dengan orang lain yang kamu lihat di media sosial. Setiap orang memiliki perjalanan hidupnya sendiri dan punya masalahnya ini.

Setiap orang itu unik, begitu pun kamu. Tidak adanya persaingan dengan orang lain dapat membuat kamu lebih bahagia dan tidak terbebani.

Itulah informasi seputar flexing yang perlu kamu ketahui. Hubungi psikolog di Halodoc apabila kamu mengalami kecemasan karena terlalu banyak melihat orang flexing.

Psikolog profesional akan membantu mencari solusi atas kondisi yang tengah kamu hadapi. Tunggu apalagi, download aplikasinya sekarang juga!

Referensi:
Mental Health Foundation. Diakses pada 2023. The Impact of Social Media on Mental Health.
Talkspace. Diakses pada 2023. The Negative Effects of Social Media on Mental Health.
Journal of Education and Health Promotion. Diakses pada 2023. Comparison of self-esteem and emotional intelligence between social media addicts and non-addicts.
Psychology of Popular Media Culture. Diakses pada 2023. Social Comparison, Social Media, and Self-Esteem.
Van Dijck, J. (2013). The culture of connectivity: A critical history of social media. Oxford University Press.
Belk, R. W. (1985). Materialism: Trait aspects of living in the material world. Journal of Consumer Research, 12(3), 265-280.
Duffy, B. E., & Hund, E. (2015). “Having it all” on social media: Entrepreneurial femininity and self-branding among fashion bloggers. International Journal of Cultural Studies, 18(6), 647-665.