Frekuensi Normal Berhubungan Intim agar Tak Disebut Hiperseks

Ditinjau oleh  dr. Fadhli Rizal Makarim   24 Agustus 2020
Frekuensi Normal Berhubungan Intim agar Tak Disebut HiperseksFrekuensi Normal Berhubungan Intim agar Tak Disebut Hiperseks

Halodoc, Jakarta – Beberapa waktu belakangan, di Tulungagung, ada kasus seorang istri yang diceraikan suami gara-gara minta berhubungan intim 9 kali dalam sehari. Sang istri disebut-sebut mengalami masalah hiperseksual. Lantas, berapa frekuensi normal berhubungan intim agar tak disebut hiperseks?

Sebenarnya, frekuensi berhubungan intim tiap pasangan bisa berbeda-beda. Tidak ada patokan berapa yang normal atau yang tidak normal. Sementara itu, cara mengatakan seseorang hiperseks tidak bisa hanya diukur dari frekuensi berhubungan intim saja, melainkan juga dari dampak yang ditimbulkan. 

Baca juga: 5 Kelainan Seksual yang Perlu Diketahui

Frekuensi Berhubungan Intim

Selain sebagai proses reproduksi, hubungan intim bagi pasangan suami istri juga merupakan suatu yang bersifat rekreasional, dan memiliki manfaat bagi kesehatan fisik dan mental. Soal frekuensi berhubungan intim, memang sulit ditentukan. 

Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan suami istri, seperti stamina tubuh, padatnya kesibukan, dan situasi lingkungan. Itulah sebabnya, tidak masalah kok, jika berhubungan intim tidak lagi dilakukan secara rutin, setelah menikah. 

TIdak ada yang bisa menentukan juga seberapa sering pasangan perlu melakukan hubungan intim. Hal ini memang sebaiknya ditentukan oleh keinginan dan kesepakatan bersama pasangan. Alih-alih berfokus pada frekuensi, kualitas hubungan intim jauh lebih penting untuk membangun keintiman dengan pasangan. 

Jika bicara soal frekuensi ideal untuk berhubungan intim, riset dalam jurnal Social Psychological and Personality Science, mengungkapkan bahwa frekuensi berhubungan intim tidak menentukan kebahagiaan pasangan. Para peneliti menyebutkan bahwa pasangan yang melakukan hubungan intim lebih dari satu kali dalam seminggu belum tentu lebih bahagia, dibanding pasangan yang melakukan hubungan intim hanya satu kali dalam seminggu.

Baca juga: Termasuk Gangguan Seksual, Bisakah Pedofilia Disembuhkan?

Jadi, normal tidaknya frekuensi berhubungan intim ditentukan oleh apakah aktivitas ini dinikmati oleh kedua belah pihak atau tidak. Berapa pun frekuensi berhubungan dalam sehari atau seminggu, pastikan kamu dan pasangan menikmati dan merasa bahagia karena itu. Tanpa ada unsur paksaan atau salah satu pihak yang merasa keberatan.

Seperti Apa Seseorang yang Disebut Hiperseks?

Jika frekuensi berhubungan intim tidak bisa jadi patokan untuk menyebut seseorang hiperseks, lalu bagaimana cara menentukan kelainan ini? Hiperseksualitas adalah kelainan seksual, yang ditandai dengan fantasi, gairah, dan kecanduan berhubungan intim, yang sulit dikendalikan. Hal ini berdampak negatif pada kesehatan, pekerjaan, dan hubungan dengan orang lain.  

Jadi, jika perilaku seksual sudah menjadi fokus utama dalam hidup, sulit dikendalikan, dan mengganggu orang lain, hal ini bisa disebut hiperseks. Hasrat dan dorongan seksual berlebihan itu tidak hanya membuat seorang hiperseks ingin berhubungan intim terus-menerus. Tetapi juga membuatnya sering masturbasi, mengakses pornografi berlebihan, dan cenderung memiliki banyak pasangan, untuk memuaskan hasratnya. 

Baca juga: Ini Penjelasan Kenapa Orang Melakukan Pelecehan Seksual di Kereta Api

Meski hingga saat ini belum ditemukan kriteria diagnosis resmi untuk hiperseks, ada beberapa perilaku yang dikategorikan sebagai tanda hiperseks, yaitu:

  • Sering memiliki hasrat seksual yang tidak terbendung dan sulit ditahan.
  • Cenderung memiliki lebih dari satu pasangan, termasuk dalam perkawinan atau hubungan gelap (perselingkuhan).
  • Senang berganti-ganti pasangan seksual.
  • Kecanduan pornografi.
  • Mempraktikkan hubungan intim yang tidak aman.
  • Sering masturbasi.
  • Senang mengintip aktivitas seksual yang dilakukan oleh orang lain.
  • Tidak kunjung puas, meski sudah sering berhubungan intim.
  • Menjadikan aktivitas seksual sebagai pelampiasan atau pelarian dari tekanan hidup, seperti kesepian, stres, depresi, atau kecemasan.

Sementara itu, seseorang dapat disebut hiperseks, jika gejala-gejala tersebut sudah berlangsung lebih dari 6 bulan, dan berdampak pada aspek-aspek kehidupannya. Pada wanita, kondisi ini sering disebut dengan nymphomania, sedangkan pada pria disebut satyriasis. 

Karena dapat mengganggu dan membahayakan pelaku, pasangan, dan orang lain yang terlibat, hiperseks tidak bisa dibiarkan. Jika kamu atau orang terdekat menunjukkan indikasi hiperseks, seperti yang dijelaskan tadi, segera download aplikasi Halodoc untuk buat janji dengan psikolog atau psikiater di rumah sakit, agar bisa segera mendapatkan penanganan. 

Jika kondisi hiperseks dibiarkan, pelaku bisa saja melanggar batas-batas norma yang berlaku di masyarakat. Bahkan, bukan tidak mungkin jika memicu tindakan kriminal, seperti pemerkosaan. 

Referensi:
Psychology Today. Diakses pada 2020. How Often Should Couples Have Sex?
Prevention. Diakses pada 2020. This Is How Often Happy Couples Are Having Sex, According to Therapists
Psych Central. Diakses pada 2020. Symptoms of Hypersexual Disorder (Sex Addiction).

Mulai Rp50 Ribu! Bisa Konsultasi dengan Ahli seputar Kesehatan