Viral Atlet Diminta Buktikan Keperawanan, Ini Dampak Psikologisnya

Ditinjau oleh  dr. Rizal Fadli   03 Desember 2019
Viral Atlet Diminta Buktikan Keperawanan, Ini Dampak PsikologisnyaViral Atlet Diminta Buktikan Keperawanan, Ini Dampak Psikologisnya

Halodoc, Jakarta – Ajang SEA Games 2019 yang diselenggarakan di Filipina seharusnya menjadi ajang penuh semangat di mana para atlet berkesempatan untuk meraih prestasi dan mengharumkan nama bangsa dan negaranya. Namun sayangnya, pada ajang tersebut, malah muncul berita yang kurang menyenangkan terkait atlet senam Indonesia, Shalfa Avrila Sania. Ia dituduh sudah tidak perawan, sehingga terpaksa harus dikeluarkan dari kontingen senam Indonesia di SEA Games Filipina 2019. Tidak cukup sampai di situ, sepulangnya ke Indonesia, Shalfa pun perlu menjalani tes keperawanan dan hasilnya pun ditolak oleh pelatih. Seperti peribahasa “Bagai jatuh tertimpa tangga pula”, perlakuan tidak menyenangkan yang datang bertubi-tubi tentu bisa membuat Shalfa mengalami sejumlah dampak psikologis. Simak ulasannya lebih lanjut di bawah ini.

Benarkah Keperawanan Dapat Terbukti Melalui Tes Secara Medis?

Tes keperawanan sering digunakan pada kasus-kasus tertentu di mana keperawanan seorang wanita perlu dibuktikan. Misalnya, pada kasus pemerkosaan atau seperti pada kasus yang dialami oleh Shalfa Avrila Sania. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), praktik yang disebut “tes keperawanan” ini malah sudah dilakukan setidaknya di 20 negara di seluruh dunia.

Namun nyatanya, para dokter dan ilmuwan mengungkapkan bahwa tidak ada tes atau ujian yang dapat secara andal dan akurat membuktikan bahwa seorang wanita telah melakukan hubungan seksual, sehingga ia sudah tidak perawan lagi. Ide tes semacam ini malah dinilai seksis.

Tes keperawanan biasanya dilakukan dengan menggunakan salah satu dari dua cara berikut ini:

  • Memeriksa hymen atau selaput dara apakah ada sobekan atau mengamati ukuran dan bentuknya.

  • Melalui “tes dua jari”, yang melibatkan memasukkan jari ke dalam vagina. Metode pemeriksaan ini tentunya bisa menyebabkan rasa nyeri bagi wanita yang menjalaninya. 

Namun, menurut dokter, praktik tes tersebut sebenarnya didasari oleh kesalahpahaman tentang tubuh wanita dan pemikiran kuno tentang kesucian.

Baca juga: Mitos dan Fakta tentang Kemampuan Tubuh Wanita

Banyak orang mengira bahwa selaput dara adalah penghalang yang akan tetap utuh sampai seorang “pangeran tampan” datang untuk membukanya. Namun nyatanya, pemahaman masyarakat tentang selaput dara selama ini banyak yang kurang tepat dan perlu diluruskan. Dalam banyak kasus, selaput dara tidak menutupi lubang vagina secara keseluruhan, melainkan hanya mengelilinginya saja. Selama berhubungan seksual, selaput dara bisa sobek atau merenggang. Namun, tidak hanya dengan cara berhubungan seksual saja, selaput dara pun dapat robek atau merenggang melalui penggunaan tampon, kegiatan olahraga, ataupun prosedur medis. Jadi, sangat sulit bagi dokter untuk menentukan apakah perubahan selaput dara adalah akibat dari penetrasi seks atau penyebab lainnya.

Selain itu, masyarakat juga percaya bahwa indikator keperawanan adalah adanya darah di seprai setelah seorang wanita melakukan hubungan intim untuk pertama kalinya. Hal itu juga adalah mitos. Penelitian sudah membantah gagasan bahwa sebagian besar wanita akan mengalami perdarahan saat berhubungan intim. Bila pun terjadi perdarahan, biasanya hanya berupa bercak darah saja. Perdarahan saat berhubungan seksual juga seringkali disebabkan oleh penetrasi paksa atau kurangnya pelumas.

Baca juga: Mitos Mengenai Keperawanan dan Selaput Dara yang Sering Keliru

Dampak Psikologis Tes Keperawanan

Tes keperawanan dapat menyebabkan dampak psikologis yang buruk baik bagi anak perempuan maupun bagi wanita. Tes ini menyebabkan wanita yang menjalaninya jadi memiliki perasaan bersalah, jijik pada diri sendiri, depresi, kegelisahan, dan citra tubuh yang negatif.

Bagi Shalfa sendiri, tes keperawanan sudah membuatnya terpukul dan merasa malu, meskipun hasil dari tes di Rumah Sakit Bhayangkara menyatakan bahwa Shalva masih perawan. Karena malu, Shalfa pun masih enggan untuk pergi ke sekolah. Bahkan, ia juga ingin berhenti menjadi atlet senam dan beralih cita-cita menjadi polisi.

Dalam banyak kasus, tes keperawanan juga dilakukan atas permintaan anggota keluarga atau pasangan, tetapi seringkali tanpa persetujuan wanita itu sendiri. Dan karena tidak ada tes yang sama untuk pria, tes keperawanan menyiratkan bahwa seks sebelum menikah hanya tidak boleh dilakukan oleh wanita.

Selain dampak psikologis, tes keperawanan juga bisa menimbulkan dampak fisik bagi wanita ke depannya nanti. Stigma seksual yang diabadikan oleh tes dapat mendorong wanita untuk melakukan perilaku berisiko. Wanita mungkin akan memilih untuk melakukan seks oral atau anal untuk menjaga keperawanannya, pahadal hal ini dapat meningkatkan risiko untuk terkena infeksi menular seksual bila ia melakukannya tanpa perlindungan.

Baca juga: Awas, 5 Penyakit Ini Menular Lewat Hubungan Seksual

Itulah penjelasan tentang dampak psikologis yang bisa ditimbulkan dari tes keperawanan yang perlu diketahui. Bila kamu memiliki masalah dengan kesehatan reproduksi, kamu bisa langsung menanyakannya pada dokter dengan menggunakan aplikasi Halodoc. Kamu bisa kapan dan di mana saja berbicara pada dokter melalui Video/Voice Call dan Chat untuk meminta saran kesehatan yang tepat. Yuk, download aplikasi Halodoc sekarang juga di App Store dan Google Play.

Referensi:
CNN. Diakses pada 2019. So-called virginity tests are unreliable, invasive and sexist. And yet they persist.

Mulai Rp50 Ribu! Bisa Konsultasi dengan Ahli seputar Kesehatan