Mengenal Sindrom Paris, Saat Realita Tak Sesuai Ekspektasi

Ditinjau oleh  dr. Rizal Fadli   01 Oktober 2021
Mengenal Sindrom Paris, Saat Realita Tak Sesuai EkspektasiMengenal Sindrom Paris, Saat Realita Tak Sesuai Ekspektasi

“Siapa bilang Paris adalah kota yang paling indah di bumi? Kenyataannya banyak turis asal Jepang yang mengalami Sindrom Paris. Ini adalah kondisi saat realita yang ada di Paris, tidak sesuai dengan ekspektasi yang disebarkan media. Kenyataannya, karakter penduduk Paris sangat bertolak belakang dengan penduduk Jepang sehingga menyebabkan orang Jepang merasa stres dan depresi.”

Halodoc, Jakarta – Apakah kamu punya cita-cita untuk mengunjungi Paris? Tampaknya, Paris yang dijuluki sebagai ibu kota mode dunia memiliki daya tarik yang luar biasa, sehingga jutaan orang ramai-ramai datang ke Paris setiap tahunnya untuk menikmati keindahan yang ditawarkannya.

Namun, banyak di antara orang-orang yang mengaku kecewa dengan kondisi kota Paris karena ternyata tidak seperti apa yang mereka bayangkan. Sebagian orang menganggap Paris bukan kota yang ideal, sebab penduduknya kurang ramah, pelayan restorannya galak dan angkuh, kotanya juga memiliki aroma pesing, banyak pencopet, dan masih banyak lagi. Fenomena saat seseorang merasa kecewa dengan kota Paris ini disebut dengan Paris Syndrome atau Sindrom Paris.

Meski awalnya berkaitan dengan kota Paris, tetapi kini Sindrom Paris digunakan untuk lebih banyak hal. Utamanya adalah gejala psikologis akibat rasa kecewa terhadap suatu hal karena ternyata ekspektasi yang dimiliki berbeda dengan realita yang ada. 

Baca juga: Ekspektasi Resolusi Tahun Baru Terlalu Tinggi Bikin Stres

Awal Mula Fenomena Sindrom Paris

Istilah Sindrom Paris alias Paris Syndrome sebenarnya pertama kali muncul dalam sebuah publikasi di jurnal psikiatri Nervure yang diterbitkan pada tahun 2004 silam. Di masa itu, belasan turis Jepang dilaporkan telah dipulangkan dari Paris dengan gejala shock atau mengalami guncangan mental yang hebat.

Menurut jurnal tersebut, turis Jepang tersebut mengalami gejala yang persis seperti orang hilang ingatan, misalnya meracau dan mengaku sebagai Raja Matahari atau titisan Raja Louis XIV. Seorang pasien wanita bahkan histeris dan mengaku bahwa ia diserang oleh seseorang dengan microwave padahal sebenarnya tidak terjadi apa-apa.

Sindrom Paris terjadi karena pada kenyataanya, Paris tidak seramah yang dibayangkan membuat banyak turis kaget. Misalnya, gaya pelayan toko yang sering berteriak-teriak pada pelanggan yang tidak fasih berbahasa Perancis, atau supir taksi yang suka ribut ketika harus berebut penumpang lalu mengemudi dengan ugal-ugalan membuat orang Jepang cukup stres. Bahkan beberapa, di antaranya mengalami psikosis sehingga perlu untuk segera dipulangkan kembali ke Jepang.

Sebab kondisi ini bertolak belakang dengan kultur orang Jepang. Di negara asalnya, mereka sangat menjaga sopan santun. Bahkan saking sopannya, orang Jepang tidak pernah meninggikan nada bicara meski sedang marah. Hal ini yang membuat orang Jepang tidak bisa menghadapi karakter warga Paris yang galak atau temperamental.

Baca juga: Revenge Travel Kala Pandemi dan Efeknya Bagi Penanganan COVID-19

Akibat hal ini, maka Kedutaan Jepang di Paris melakukan antisipasi. Mereka membuka layanan pengaduan selama 24 jam bagi turis Jepang yang stres dan butuh bantuan untuk memperbaiki kesehatan mental mereka supaya tetap bisa melanjutkan urusan mereka selama di Prancis.

Nah, jika kamu juga sempat merasakan gejala stres atau depresi akibat baru saja pindah ke lingkungan baru, baik secara fisik maupun emosional, kamu bisa meminta bantuan psikolog di rumah sakit untuk menjaga kondisi mentalmu. Hebatnya, kini kamu bisa buat janji dengan psikolog lewat aplikasi Halodoc

Baca juga: Cara Menghadapi Kekecewaan dalam Hidup 

Kiat Terhindar dari Fenomena Paris Syndrome

Singkatnya, para peneliti percaya bahwa Sindrom Paris adalah bentuk ekstrim dari culture shock atau kaget budaya. Meskipun kemungkinan besar kamu tidak akan mengalami Sindrom Paris selama perjalanan ke Paris kelak, tetapi ada kemungkinan bahwa ekspektasi perjalanan dapat membuat kamu kecewa. Untuk itu, ada beberapa strategi yang dapat membantu mengantisipasinya: 

Ingatkan Diri Bahwa Tidak Ada Tempat yang Sempurna

Tidak peduli betapa indah suatu destinasi, penting untuk diingat bahwa tidak ada utopia di planet ini. Setiap negara menghadapi masalah sosial dan masalah lingkungan, dan tidak ada tempat yang dibuat khusus untuk memenuhi spesifikasi harapan pengunjungnya.

Fokus pada Masyarakat dan Budaya

Jika kamu benar-benar menginginkan pengalaman yang bermakna, sebagian besar persiapan wisata harus berkisar pada pembelajaran tentang budaya lokal, bukan menyusun rencana perjalanan saja. Cobalah belajar sedikit bahasa baru, dan pelajari semua yang kamu bisa tentang ekologi dan geologi destinasi, atau komunitas kuliner dan seninya. Teliti juga cara komunitas imigran memengaruhi identitas kota tersebut. 

Persiapkan Diri untuk Kejutan, Baik atau Buruk

Ada bahaya jika kamu terlalu terikat dengan gagasan tentang suatu hal sebelumnya merasakan sendiri. Jadi, persiapkan diri untuk kejutan, baik atau buruk. Semuanya harus kamu terima. Namun, bisa saja keburukan yang kamu alami dijadikan sebagai pembelajaran. 

This image has an empty alt attribute; its file name is HD-RANS-Banner-Web-Artikel_Spouse.jpg
Referensi:
Passion Passport. Diakses pada 2021. Paris Syndrome: Keeping Your Expectations in Check While Traveling.
Reuters. Diakses pada 2021. “Paris Syndrome” Leaves Japanese Tourists in Shock.
The Atlantic. Diakses pada 2021. Paris Syndrome: A First-Class Problem for a First-Class Vacation.

Mulai Rp50 Ribu! Bisa Konsultasi dengan Ahli seputar Kesehatan